Skip to main content

Permusuhan Syaithan dan mengenal tipu dayanya

Abu laits Assamarqandi meriwayatkan dengan sanadnya dari shafiyah binti jahsy berkata: Rasulullah bersabda:
"Asysyaitanu yajri min ibnu adam masjraddam. (syaithan itu berjalan dalam tubuh anak adam mengikuti aliran darah).

Abul laits meriwayatkan dengan sanadnya dari ibn Abbas r.a ketika mengartikan surat; Qul a udzu birabbinnaas. (katakanlah aku berlindung kepada Tuhannya manusia. raja dari semua manusia. yang berbisik dalam hati perasaan manusia. Dari golongan jin dan manusia. Ia maju bila tidak ada dzikir ingatan pada Allah, dan surut mundur bila orangnya ingat pada Allah bahkan ia keluar dari dadanya.

Nabi S.A.W bersabda:

Bu'its tu daa' iyan wa muballighan walaisa ilayya minal hidayati syai'un wa khuli qa iblisu muzzayinan walaisa ilaihi minadhdhalalati syai'un.

yang artinya:
aku di utus untuk berseru dan tabligh menyampaikan ajaran. dan tidak ada padaku kekuasaan untuk memberi hidayat walau sedikit pun. Dan iblis dijadikan untuk merayu, berbisik dan memperhias dan tidak kuasa menyesatkan sedikit pun).

Iblis hanya membayangkan kelezatan dan bagusnya ma'siat itu; karena itu harus dapat menolak bisikan dan rayuan syaithan itu, dengan ingat selalu firman Allah: (Sesungguhnya syaithan bagimu musuh, maka perlakukan ia sebagai musuh. Karena itu jangan percaya, dan jangan menurut kepadanya meskipun ia bersumpah memberi nasehat padamu. Maka seorang yang berakal harus dapat membedakan keterangan kawan dan lawan, maka menurut kawan dan meninggalkan lawan.

Dan tanda orang yang bodoh itu ada 4
1. Marah tanpa alasan.
2. Menurutkan nafsu dalam bathil
3. Memboros harta tanpa kepentingan.
4. kurang (tidak) dapat membedakan kawan dari lawan.
sehingga banyak yang menurut lawan yaitu syaithan dari pada taat kepada Allah yang sayang kepadanya.
Firman Allah: Afa tattakhidzunahu wadzurriyatahu auliyaa'a min duni wahum laku aduwwunm bi'sa lidhdhalimina badala.
yang artinya: Apakah kamu menjadikan syhaitan dan anak cucunya itu sebagai walimu (pimpinanmu) selain dari Aku, Padahal syaithan itu bagimu itu musuh, sungguh sebusuk-busuk ganti bagi orang orang yang dhalim (alkahfi 50)

Dan tanda seorang yang berakal itu ada 4:
1. Sabar menghadapi kebodohan
2. Manahan nafsu dari yang bathil
3. Mengeluarkan harta pada tempatnya
4. Dapat membedakan antara kawan dengan lawan.

Comments

Popular posts from this blog

Corak Aqidah Islam Pada Masa Nabi Dan Sahabat

Aqidah Islam yang dikembangkan Nabi Muhammad terhadap para sahabat dan para pengikut terdekat beliau bercorak monolitik, yakni satu bentuk ajaran tanpa ada perdebatan dan sanggahan-sanggahan. Yaitu mempercayai ke-Tuhanan Allah Yang Maha Esa, ke-Rasulan Muhammad beserta ajaran yang dibawanya yang beliau terima lewat wahyu, para malaikat yang memiliki tugas-tugas tertentu, serta kehidupan akhir berupa surga dan neraka beserta prosedur hisabnya, dan keyakinan akan adanya qadha dan qadar.

Pengertian Akhlak

Kata akhlak merupakan salah satu pembendaharaan bahasa Indonesia yang dikutip dari bahasa Arab yang merupakan bentuk jamak dari kata khulqun dan khilqun yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat. Digunakannya kata akhlaqun  untuk makna budi pekerti, dan seakar dengan kata khalqun  yang bermakna kejadian, karena tingkah laku, budi pekerti dan perangai itu merupakan perwujudan konsep-konsep yang terbentuk sebagai interaksi antara doktrin-doktrin ajaran yang telah dimiliki seseorang dengan lingkunagan sosial yang dihadapinya. Sementara itu, Barmawy Umary berpendapat bahwa penggunaan kata akhlaq  seakar dengan kata khaliq  (Allah pencipta) dimaksud agar terjadi hubungan baik antara manusia sebagai makhluk dengan Allah sebagai khaliq-nya, diantara manusia sebagai makhluk dengan makhluk-makhluk lainnya.

Lahirnya Aliran Ahlus Sunah wal Jama'ah

Aliran ini dilahirkan dan dikembangkan oleh Abu Hasan al-Asy'ari (260-324 H) pada tahun 300 H di Baghdad. Abu Hasan al-Asy'ari sendiri pada awalnya adalah pengikut aliran teologi Mu'tazilah, namun dia terus dilanda keraguan dengan pemikiran-pemikiran kalam Mu'tazilah, terutama karena keberanian Mu'tazilah dalam mena'wilkan ayat-ayat mutasyabihat untuk mendukung logika teologi mereka, sehingga pemaknaannya berbeda dengan lafalnya, dan juga karena keberanian mereka dalam membatasi penggunaan al-Sunnah hanya yang mutawatir saja untuk doktrin-doktrin aqidahnya.