Skip to main content

Pengertian Akhlak

Kata akhlak merupakan salah satu pembendaharaan bahasa Indonesia yang dikutip dari bahasa Arab yang merupakan bentuk jamak dari kata khulqun dan khilqun yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat. Digunakannya kata akhlaqun untuk makna budi pekerti, dan seakar dengan kata khalqun yang bermakna kejadian, karena tingkah laku, budi pekerti dan perangai itu merupakan perwujudan konsep-konsep yang terbentuk sebagai interaksi antara doktrin-doktrin ajaran yang telah dimiliki seseorang dengan lingkunagan sosial yang dihadapinya. Sementara itu, Barmawy Umary berpendapat bahwa penggunaan kata akhlaq seakar dengan kata khaliq (Allah pencipta) dimaksud agar terjadi hubungan baik antara manusia sebagai makhluk dengan Allah sebagai khaliq-nya, diantara manusia sebagai makhluk dengan makhluk-makhluk lainnya.Terlepas dari analisis-analisis diatas, yang jelas kata akhlak yang bermakna budi pekerti, perangai, dan tingkah laku itu, telah digunakan oleh Al-Qur'an untuk mengungkap budi pekerti dan perangai, saat mengemukakan perangai Rasulullah Saw, dalam surat Al-Qalam ayat ke 4 yang artinya;

"Sesungguhnya engkau (wahai Muhammad) mempunyai budi pekerti dan perangai yang tinggi"

Kemudian istilah yang sama dengan mengambil bentuk jamaknya juga dipakai Rasulullah Saw, untuk konotasi tersebut di atas dalam salah satu haditsnya yang artinya:

"Bahwa Rasulullah Saw. bersabda saya ini diutus untuk menyempurnakan akhlak yang baik" (H.R. Malik)

Dengan demikian penggunaan kata akhlak untuk makna budi pekerti, perangai, serta tingkah laku itu telah dimulai oleh Allah sendiri dalam al-Qur'an, kemudian oleh Rasulullah dalam haditsnya, dan kini sudah merupakan bagian dari khazanah kosa kata Indonesia, dengan makna dan konotasi yang tetap. Dan penggunaan kata akhlak untuk makna tersebut tiada lain karena budi pekerti, tingkah laku serta perangai itu merupakan hasil rekayasa yang disusun pelakunya sendiri sebelum mengekspresikan perbuatan dan kelakuannya itu.

Sementara itu Ahmad Amin melihat lain, bahwa akhlak menurutnya adalah membiasakan kehendak, yakni kehendak-kehendak yang sudah terancang dalam konsep-konsep sebagai hasil interaksi antara jajaran kebenaran yang sudah ada dalam benak seseorang dengan likungan sosial dimana dia berada. Kebiasaan-kebiasaan tersebut pada akhirnya juga akan membentuk kelakuan-kelakuan thabi'i (natural), atau menjadi tabiat seseorang, sebagaimana yang dikemukakan al-Ghazali dalam definisinya diatas.

Dengan demikian, al-Ghazali mempunyai pandangan yang sedikit berbeda dengan Ahmad Amin dalam pendefinisian akhlak tersebut, karena Ahmad Amin lebih melihat oada segi proses hasil akhir dari proses kebiasaan tersebut. Bagi kita, pandangan Amin dan Ghazali sama-sama benar, karena akhlak baik itu perlu pembiasaan, yang akan bermuara pada pelakuan-pelakuan thabi'i (natural), sehingga akhlak itu tiada lain adalah sifat yang pertama dalam jiwa sebagai hasil proses pembiasaan, yang pada akhirnya akan membentuk format kelakuan yang terefleksi dengan mudah tanpa pertimbangan-pertimbangan akal pemikiran.

Inilah pengertian akhlak sebagaimana dikemukakan oleh para ulama yang menekuni bidang ilmu akhlak, dan ilmu akhlak itu bisa menjadi satu pedoman apabila diketahui norma-normanya dan norma-norma tersebut terdapat pada sumber-sumbernya.

Comments

  1. black titanium wedding band | Titanium Arts
    Black titanium blue titanium wedding band. We titanium dioxide sunscreen sell wedding bands to your local venue in our titanium meaning store. Use our citizen eco drive titanium watch coupon code 'STARS600' titanium anodizing to receive a special

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Corak Aqidah Islam Pada Masa Nabi Dan Sahabat

Aqidah Islam yang dikembangkan Nabi Muhammad terhadap para sahabat dan para pengikut terdekat beliau bercorak monolitik, yakni satu bentuk ajaran tanpa ada perdebatan dan sanggahan-sanggahan. Yaitu mempercayai ke-Tuhanan Allah Yang Maha Esa, ke-Rasulan Muhammad beserta ajaran yang dibawanya yang beliau terima lewat wahyu, para malaikat yang memiliki tugas-tugas tertentu, serta kehidupan akhir berupa surga dan neraka beserta prosedur hisabnya, dan keyakinan akan adanya qadha dan qadar.

Lahirnya Aliran Ahlus Sunah wal Jama'ah

Aliran ini dilahirkan dan dikembangkan oleh Abu Hasan al-Asy'ari (260-324 H) pada tahun 300 H di Baghdad. Abu Hasan al-Asy'ari sendiri pada awalnya adalah pengikut aliran teologi Mu'tazilah, namun dia terus dilanda keraguan dengan pemikiran-pemikiran kalam Mu'tazilah, terutama karena keberanian Mu'tazilah dalam mena'wilkan ayat-ayat mutasyabihat untuk mendukung logika teologi mereka, sehingga pemaknaannya berbeda dengan lafalnya, dan juga karena keberanian mereka dalam membatasi penggunaan al-Sunnah hanya yang mutawatir saja untuk doktrin-doktrin aqidahnya.