Skip to main content

Sumber-sumber Ajaran Akhlak

Secara umum, norma akhlak itu terbagi dua, yaitu akhlak yang berasal dari ajaran keagamaan dan norma akhlak yang berasal dari pemikiran sekuler. Akhlak berasal dari ajaran agama bersumber pada nash al-Qur'an dan al-Sunnah, sedang norma akhlak sekuler bersumber dari dua sumber yaitu instink dan pengalaman.

Sebagai sumber norma akhlak, al-Qur'an mengungkapkan berbagai norma perilaku baik dalam hubungan dengan diri sendiri, dengan orang tua dan keluarga, maupun dengan lingkungan masyarakat. Baik atau buruknya suatu perbuatan dapat dilihat dari segi kesesuaiannya dengan norma-norma yang di ungkapkan oleh al-Qur'an tersebut. Sesuai dengan itu, dalam surat al-Maidah ayat ke 15 dan 16 Allah menyatakan yang artinya:

"Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah dan kitab yang menerangkan kebenaran. Dengan kitab itulah Allah menunjukan orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan keselamatan. Dan dengan kitab itu pula Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya dan menunjukan mereka ke jalan yang lurus."
Sumber kedua dari ajaran akhlak, sebagaimana dikemukakan di atas adalah al-Sunnah. Ekstensi al-Sunnah sebagai sumber ajaran ini dinyatakan oleh al-Qur'an dalam surat al-Hasyr ayat ke 7 yang artinya:

"Dan terimalah apa-apa yang disampaikan rasul kepadamu serta tinggalkanlah apa-apa yang dilarang olehnya"

Kedua ayat diatas menjelaskan bahwa al-Qur'an dan al-Sunnah merupakan sumber rujukan dalam norma-norma akhlak. Dengan demikian semua norma akhlak diluar aspek aqidah dan syari'ah sudah daiatur secara prinsipil dalam kedua sumber ajaran tersebut. Sedangkan peranan akal pikiran manusia hanyalah untuk memahami pesan-pesan ajaran tersebut, bukan untuk menentukan normanya.

Disamping sebagai ajaran yang dikemukakan dalam al-Qur'an dan al-Sunnah, norma-norma akhlak juga bisa digali dan dipelajari dari berbagai perbuatan dan kebiasaan Rasulullah Saw. yang tidak tergolong hadits, yakni semua perilaku dan perangai itu menunjukan akhlak yang baik dan patut juga untuk ditiru.

Berbeda dengan akhlak sekuler yang bersumber pada pengalaman. Peranan akal sangat penting dalam perumusan norma-norma etikanya itu. Dan dalam sejarah peradaban umat setidaknya ada lima aliran dalam akhlak sekuler ini, yaitu:
1. Aliran Naturalisme.
2. Aliran Hedonisme.
3, Aliran Utilitarianisme.
4. Aliran Idealisme.
5. Aliran Teologi.

Comments

Popular posts from this blog

Corak Aqidah Islam Pada Masa Nabi Dan Sahabat

Aqidah Islam yang dikembangkan Nabi Muhammad terhadap para sahabat dan para pengikut terdekat beliau bercorak monolitik, yakni satu bentuk ajaran tanpa ada perdebatan dan sanggahan-sanggahan. Yaitu mempercayai ke-Tuhanan Allah Yang Maha Esa, ke-Rasulan Muhammad beserta ajaran yang dibawanya yang beliau terima lewat wahyu, para malaikat yang memiliki tugas-tugas tertentu, serta kehidupan akhir berupa surga dan neraka beserta prosedur hisabnya, dan keyakinan akan adanya qadha dan qadar.

Pengertian Akhlak

Kata akhlak merupakan salah satu pembendaharaan bahasa Indonesia yang dikutip dari bahasa Arab yang merupakan bentuk jamak dari kata khulqun dan khilqun yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat. Digunakannya kata akhlaqun  untuk makna budi pekerti, dan seakar dengan kata khalqun  yang bermakna kejadian, karena tingkah laku, budi pekerti dan perangai itu merupakan perwujudan konsep-konsep yang terbentuk sebagai interaksi antara doktrin-doktrin ajaran yang telah dimiliki seseorang dengan lingkunagan sosial yang dihadapinya. Sementara itu, Barmawy Umary berpendapat bahwa penggunaan kata akhlaq  seakar dengan kata khaliq  (Allah pencipta) dimaksud agar terjadi hubungan baik antara manusia sebagai makhluk dengan Allah sebagai khaliq-nya, diantara manusia sebagai makhluk dengan makhluk-makhluk lainnya.

Lahirnya Aliran Ahlus Sunah wal Jama'ah

Aliran ini dilahirkan dan dikembangkan oleh Abu Hasan al-Asy'ari (260-324 H) pada tahun 300 H di Baghdad. Abu Hasan al-Asy'ari sendiri pada awalnya adalah pengikut aliran teologi Mu'tazilah, namun dia terus dilanda keraguan dengan pemikiran-pemikiran kalam Mu'tazilah, terutama karena keberanian Mu'tazilah dalam mena'wilkan ayat-ayat mutasyabihat untuk mendukung logika teologi mereka, sehingga pemaknaannya berbeda dengan lafalnya, dan juga karena keberanian mereka dalam membatasi penggunaan al-Sunnah hanya yang mutawatir saja untuk doktrin-doktrin aqidahnya.