Skip to main content

Lahirnya Aliran Jabariyah

Kalau Qadariyah lahir seiring dengan lontaran-lontaran kritik terhadap kekejaman daulah banu Umayah, maka Jabariyah sebaliknya, aliran ini lahir bermula dari ketidak berdayaan dalam menghadapi kekejaman Mu'awiyah bin Abu Sufyan, dan mengembalikan semuanya atas kehendak dan kekuasaan Tuhan. Kemudian isu keagamaan ini dipegang oleh Mu'awiyah sendiri untuk membenarkan perlakuan-perlakuan politiknya itu. Oleh sebab itu masa kelahirannya sebenarnya berbarengan dengan kelahiran Qadariyah. Namun pada masa munculnya, yang dipelopori oleh Ja'ad bin Dirham, pemikiran kalam ini belum berkembang. Dan menjadi satu aliran yang punya pengaruh serta tersebar di masyarakat setelah dikembangkan oleh Jahm bin Shafwan (W. 131 H). Oleh sebab itu, aliran ini sering juga disebut aliran Jahmiyah.Dilihat dari segi pemikiran kalamnya, aliran jabariyah bertolak belakang dengan Qadariyah. Menurut Jabariyah manusia tidak mempunyai kemampuan untuk mewujudkan perbuatannya, dan tidak memiliki kemampuan untuk memilih. Segala gerak dan perbuatan yang dilakukan manusia, pada hakikatnya adalah dari Allah semata. Meskipun demikian, manusia tetap mendapatkan pahala atau siksa, karena perbuatan baik atau jahat yang dilakukannya. Faham bahwa yang dilakukan manusia adalah sebenarnya perbuatan Tuhan tidak menafikan adanya pahala dan siksa.

Menurut faham ini, manusia tidak hanya bagaikan wayang, yang digerakkan oleh dalang, tapi manusia tidak mempunyai bagian sama sekali dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Sementara nasib mereka di akhirat sangat di tentukan oleh kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa. Yakni di posisi mereka ditentukan oleh kekuasaan mutlak Tuhan. Pemikiran-pemikiran kalam dari aliran Jabariyah ini kemudian banyak diserap oleh aliran Asy'ariyah, karena keduanya sama-sama memiliki kecenderungan untuk mengikuti aliran tradisional, yakni aliran ilmu kalam yang kurang menghargai kebebasan manusia, serta kurang melakukan pendekatan logika nalar dalam pemikiran kalam mereka.

Comments

Popular posts from this blog

Corak Aqidah Islam Pada Masa Nabi Dan Sahabat

Aqidah Islam yang dikembangkan Nabi Muhammad terhadap para sahabat dan para pengikut terdekat beliau bercorak monolitik, yakni satu bentuk ajaran tanpa ada perdebatan dan sanggahan-sanggahan. Yaitu mempercayai ke-Tuhanan Allah Yang Maha Esa, ke-Rasulan Muhammad beserta ajaran yang dibawanya yang beliau terima lewat wahyu, para malaikat yang memiliki tugas-tugas tertentu, serta kehidupan akhir berupa surga dan neraka beserta prosedur hisabnya, dan keyakinan akan adanya qadha dan qadar.

Sumber-sumber Ajaran Akhlak

Secara umum, norma akhlak itu terbagi dua, yaitu akhlak yang berasal dari ajaran keagamaan dan norma akhlak yang berasal dari pemikiran sekuler. Akhlak berasal dari ajaran agama bersumber pada nash al-Qur'an dan al-Sunnah, sedang norma akhlak sekuler bersumber dari dua sumber yaitu instink dan pengalaman. Sebagai sumber norma akhlak, al-Qur'an mengungkapkan berbagai norma perilaku baik dalam hubungan dengan diri sendiri, dengan orang tua dan keluarga, maupun dengan lingkungan masyarakat. Baik atau buruknya suatu perbuatan dapat dilihat dari segi kesesuaiannya dengan norma-norma yang di ungkapkan oleh al-Qur'an tersebut. Sesuai dengan itu, dalam surat al-Maidah ayat ke 15 dan 16 Allah menyatakan yang artinya: "Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah dan kitab yang menerangkan kebenaran. Dengan kitab itulah Allah menunjukan orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan keselamatan. Dan dengan kitab itu pula Allah mengeluarkan orang-orang itu dari

Hubungan Aqidah dengan Akhlak

Aqidah erat hubungannya dengannya dengan akhlak, karena aqidah merupakan landasan dan dasar pijakan untuk semua perbuatan, sedang akhlak adalah segenap perbuatan baik dari seseorang mukallaf, baik dalam hubungan dengan Allah sebagai Tuhannya, dengan sesama manusia maupun dengan alam lingkungan hidupnnya. Berbagai amal perbuatan tersebut, akan memiliki nilai ibadah kalau bertolak dari keyakinan aqidah, dan akan senantiasa terkontrol dari berbagai penyimpangan kalau diimbangi dengan suatu keyakinan aqidah yang cukup kuat. Oleh sebab itu, keduanya tidak dapat dipisahkan sama halnya antara jiwa dan raga, keduanya dapat dipisahkan dalam ulasan, tapi tidak dalam kenyataan.