Skip to main content

Lahirnya Aliran Murji'ah

Sejak terjadinya ketegangan politik diakhir pemerintahan Utsman bin Affan, ada sejumlah sahabat Nabi yang tidak mau ikut campur dalam perselisihan politik. Ketika selanjutnya terjadi salah menyalahkan antara pihak pendukung Ali dengan pihak penuntut bela kematian Utsman bin Affan, maka mereka bersikap "irja" yakni menunda keputusan tentang siapa yang bersalah. Menurut mereka, biar Allah saja nanti di akhirat yang memutuskan siapa yang bersalah diantara mereka yang tengah berselisih ini.Selanjutnya mereka kaum Khawarij berpendapat bahwa mukmin yang melakukan dosa besar itu menjadi kafir dan kelak akan kekal dalam neraka, maka mereka berpendapat bahwa mukmin yang melakukan dosa besar tersebut masih tetap mukmin, yaitu mukmin yang berdosa tidak berubah menjadi kafir. Lalu apakah mereka itu akan masuk ke dalam neraka atau surga, atau masuk neraka terlebih dahulu, baru kemudian kedalam surga, ditunda sampai keputusan akhir dari Allah. Di samping itu, khusus bagi para pelaku dosa besar, mereka juga berharap agar mereka mau bertaubat, dan berharap pula agar taubatnya diterima disisi Allah Swt.

Karena penundaan semua putusan terhadap Allah, serta senantiasa berharap Allah akan mengampuni dosa-dosa para pelaku dosa besar tersebut, maka mereka ini kemudian populer disebut sebagai golongan atau aliran "Murji'ah (orang yang mendapat putusan para pelaku dosa besar sampai ada ketetapan dari Allah, sambil berharap bahwa Allah akan mengampuni dosa-dosa mereka itu).

Pendirian Murji'ah diatas sangat moderat, sehingga menjadi pendirian umat Islam pada umumnya tentang mukmin yang berbuat dosa besar. Mereka sendiri kemudian disebut sebagai penganut aliran Murji'ah moderat. Akan tetapi pada akhir abad pertama dan awal abad ke dua Hijrah, muncul orang-orang Murji'ah ekstrim yang sangat meremehkan peran amal perbuatan. Mereka selanjutnya berpendapat bahwa siapa saja yang meyakini keesaan Allah dan ke-Rasulan Muhammad Saw. adalah orang beriman walaupun selalu melakukan perbuatan buruk. Bahkan seorang tidak boleh dikatakan kafir kendati sering melakukan ibadah di dalam gereja, karena keimanan itu ada dalam hati, dan hanya dapat diketahui oleh Allah. Tokoh-tokoh aliran Murji'ah ekstrim ini adalah Jaham bin Shafwan, Abu Hasan al-Shalih, Muqatil bin Sulaiman dan Yunus al-Samiri.

Kaum Murji'ah ekstrim ini banyak memperoleh kecaman dari para ulama saat itu, dan tidak memperoleh pengikut, serta akhirnya lenyap. Sedang Murji'ah moderat kemudian menjadi pengikut Ahlus Sunnah wal Jama'ah

Pemikiran yang paling menonjol dari aliran ini adalah bahwa pelaku dsa besar tidak dikategori sebagai orang kafir, karena mereka masih memiliki keimanan dan keyakinan dalam hati bahwa Tuhan mereka adalah Allah, RasulNya adalah Muhammad, serta al-Qur'an sebagai kitab ajarannya, serta meyakini rukun-rukun iman lainnya.

Disamping itu, mereka berpendapat bahwa iman itu adalah mengetahui dan meyakini atas ke-Tuhanan Allah dan ke Rasulan Muhammad. Mereka tidak memasukkan unsur amal dalam iman, sehingga amal tidak mempengaruhi iman. Oleh sebab itu pulalah mereka berpendapat bahwa pelaku dosa besar tetap mukmin, dan tidak terkategori sebagai orang kafir sebagaimana dinyatakan ajaran Khawarij. Sedangkan dosanya harus mereka pertanggung jawabkan di akhirat kelak.

Comments

Popular posts from this blog

Corak Aqidah Islam Pada Masa Nabi Dan Sahabat

Aqidah Islam yang dikembangkan Nabi Muhammad terhadap para sahabat dan para pengikut terdekat beliau bercorak monolitik, yakni satu bentuk ajaran tanpa ada perdebatan dan sanggahan-sanggahan. Yaitu mempercayai ke-Tuhanan Allah Yang Maha Esa, ke-Rasulan Muhammad beserta ajaran yang dibawanya yang beliau terima lewat wahyu, para malaikat yang memiliki tugas-tugas tertentu, serta kehidupan akhir berupa surga dan neraka beserta prosedur hisabnya, dan keyakinan akan adanya qadha dan qadar.

Sumber-sumber Ajaran Akhlak

Secara umum, norma akhlak itu terbagi dua, yaitu akhlak yang berasal dari ajaran keagamaan dan norma akhlak yang berasal dari pemikiran sekuler. Akhlak berasal dari ajaran agama bersumber pada nash al-Qur'an dan al-Sunnah, sedang norma akhlak sekuler bersumber dari dua sumber yaitu instink dan pengalaman. Sebagai sumber norma akhlak, al-Qur'an mengungkapkan berbagai norma perilaku baik dalam hubungan dengan diri sendiri, dengan orang tua dan keluarga, maupun dengan lingkungan masyarakat. Baik atau buruknya suatu perbuatan dapat dilihat dari segi kesesuaiannya dengan norma-norma yang di ungkapkan oleh al-Qur'an tersebut. Sesuai dengan itu, dalam surat al-Maidah ayat ke 15 dan 16 Allah menyatakan yang artinya: "Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah dan kitab yang menerangkan kebenaran. Dengan kitab itulah Allah menunjukan orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan keselamatan. Dan dengan kitab itu pula Allah mengeluarkan orang-orang itu dari

Pengertian Akhlak

Kata akhlak merupakan salah satu pembendaharaan bahasa Indonesia yang dikutip dari bahasa Arab yang merupakan bentuk jamak dari kata khulqun dan khilqun yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat. Digunakannya kata akhlaqun  untuk makna budi pekerti, dan seakar dengan kata khalqun  yang bermakna kejadian, karena tingkah laku, budi pekerti dan perangai itu merupakan perwujudan konsep-konsep yang terbentuk sebagai interaksi antara doktrin-doktrin ajaran yang telah dimiliki seseorang dengan lingkunagan sosial yang dihadapinya. Sementara itu, Barmawy Umary berpendapat bahwa penggunaan kata akhlaq  seakar dengan kata khaliq  (Allah pencipta) dimaksud agar terjadi hubungan baik antara manusia sebagai makhluk dengan Allah sebagai khaliq-nya, diantara manusia sebagai makhluk dengan makhluk-makhluk lainnya.