Skip to main content

Kewajiban Terhadap Allah


Manusia sebagai makhluk ciptaan Allah mempunyai kewajiban untuk menyembah-Nya, sebagaimana dinyatakan dalam surah al-Zariyat ayat ke 56 yang artinya:

“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahku”.

Manusia yang tidak mau melaksanakan kewajibannya sebagai seorang makhluk terhadap khaliknya sesungguhnya adalah menentang fitrahnya sendiri. Sebab pada dasarnya manusia mempunyai kecenderungan untuk mengabdi dan menyembah kepada zat yang dianggapnya mempunyai suatu kekuatan atas yang dipertaruhkannya itu adalah berdasarkan adanya suatu harapan agar dia memperoleh keselamatan, terhindar dari berbagai malapetaka dan murka-Nya, baik di dunia kini maupun di akhirat kelak.


Sejarah telah membuktikan bagaimana manusia bersusah payah mencari apa atau siapa yang dianggap sebagai Tuhan sembahan mereka, serta bagaimana cara melakukan persembahan dan pengabdian kepadanya agar mereka mendapatkan anugerahnya dan terhindar dari murkanya. Pada garis besarnya yang dijadikan manusia sebagai sesembahan itu terbagi dalam dua macam, yaitu sembahan benda zat dan zat yang baik.

Para penganut dan pemeluk agama ardhy cenderung menjadikan benda-benda atau materi sebagai sesembahan, seperti patung, pohon kayu, batu, matahari dan sebagainya yang dianggap memberi manfaat. Seperti agama mesir kuno menjadikan sungai Nil sebagai sesembahannya dengan melemparkan gadis cantik kedalam sungai itu hidup-hidup, agar mereka memperoleh karunia berupa kiriman air untuk menyuburkan tanaman pertanian mereka, kemudian bangsa Arab jahiliyah mempersembahkan pengabdian kepada patung, mereka menari sambil mengelilingi patung tersebut.

Berdasarkan hal tersebut di atas ternyata manusia makhluk yang memiliki fitrah untuk mempertaruhkan sesuatu, hanya cara dan objek yang dipertaruhkannya saja keliru. Sedangkan maksud dari ayat ke 56 surah al-Zariyat adalah perintah agar manusia mengabdi dan menyembah hanya kepada Allah, dengan menjalan segala perintah dan menjauhi segala larangan-Nya.

Penyembahan kepada benda-benda yang tidak bisa memberi manfaat apa-apa merupakan sesuatu yang sesat, dan sistem kepercayaan seperti itulah yang terus diperbaiki oleh para Rasul Allah, seperti yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim as. Di tengah-tengah masyarakatnya, sebagaimana terungkap dalam ayat ke 74 dalam surah al-An’am yang artinya:

“Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada ayahnya Azar, pantaskah kamu menjadikan berhala-berhala menjadi Tuhan sesungguhnya aku melihatmu dan kaummu dalam kesesatan yang nyata”.

Begitulah Nabi Ibrahim meluruskan penyimpangan sesembahan orang tuanya terhadap patung-patung yang diciptakannya sendiri. Dengan tegas Ibrahim mengatakan bahwa berhala-berhala itu adalah benda-benda yang sama sekali tidak dapat memberi manfaat apa-apa.

Manusia sebagai makhluk hanya mempunyai kewajiban menyembah kepada khalik penciptanya, yaitu Allah Swt. karena manusia harus tunduk dan patuh melaksanakan ketentuan aturan, dan tata tertib yang telah ditentukan-Nya.

Di samping melaksanakan semua perintah-Nya berupa berbagai peribadatan, seorang muslim juga dituntut untuk meninggalkan semua perbuatan yang dilarang dalam Islam dan kedua bentuk pelaksanaan kewajiban serta menjauhi larangan tersebut merupakan bentuk ketaatan seorang hamba terhadap khaliknya. Inilah secara umum kewajiban manusia terhadap Allah.
Berdasarkan kedua ayat diatas, dapat disimpulkan bahwa kewajiban manusia terhadap Tuhannya ada dua, yaitu:

1.   1. Mempercayai dan meyakini bahwa Tuhan mereka adalah Allah Swt. pencipta alam semesta ini, serta pemberi rizki yang mereka perlukan dalam kehidupan dunia. Tuhan-tuhan selain Dia sebagai hasil rekaan manusia bukanlah Tuhan yang sebenarnya, dan harus ditinggalkan dalam kepercayaan aqidah seorang muslim, karena mempercayai kekuatan lain selain Allah adalah musyrik. Sementara musyrik merupakan dosa besar yang tidak akan diampuni oleh-Nya.

2.   2. Melakukan peribadatan serta penyembahan kepadaNya dengan yang iklhas dalam rangka menjalankan perintahNya serta menjauhi laranganNya. Peribadatan dimaksud meliputi kedua aspek bentuk ibadah, yaitu ibadah mahdhah dan ibadah ghairu mahdhah. Ibadah mahdhah adalah melaksanakan perintah-perintah peribadatan yang pelaksanaan perintah-perintah peribadatan yang pelaksanaanya itu semata-mata penyembahan serta pengabdian kepada-Nya. Seperti shalat, puasa, zakat dan ibadah haji. Sementara ibadah ghairu mahdhah adalah segala macam perbuatan dunia yang disertai niat mencari ridha-Nya, dengan terus menjaga dan memperhatikan norma-norma hukum yang telah diatur dalam ajaran al-Qur’an dan al-Sunnah, yakni menjauhi semua perbuatan yang dilarang dan diharamkan ajaran Islam.

Comments

Popular posts from this blog

Corak Aqidah Islam Pada Masa Nabi Dan Sahabat

Aqidah Islam yang dikembangkan Nabi Muhammad terhadap para sahabat dan para pengikut terdekat beliau bercorak monolitik, yakni satu bentuk ajaran tanpa ada perdebatan dan sanggahan-sanggahan. Yaitu mempercayai ke-Tuhanan Allah Yang Maha Esa, ke-Rasulan Muhammad beserta ajaran yang dibawanya yang beliau terima lewat wahyu, para malaikat yang memiliki tugas-tugas tertentu, serta kehidupan akhir berupa surga dan neraka beserta prosedur hisabnya, dan keyakinan akan adanya qadha dan qadar.

Pengertian Akhlak

Kata akhlak merupakan salah satu pembendaharaan bahasa Indonesia yang dikutip dari bahasa Arab yang merupakan bentuk jamak dari kata khulqun dan khilqun yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat. Digunakannya kata akhlaqun  untuk makna budi pekerti, dan seakar dengan kata khalqun  yang bermakna kejadian, karena tingkah laku, budi pekerti dan perangai itu merupakan perwujudan konsep-konsep yang terbentuk sebagai interaksi antara doktrin-doktrin ajaran yang telah dimiliki seseorang dengan lingkunagan sosial yang dihadapinya. Sementara itu, Barmawy Umary berpendapat bahwa penggunaan kata akhlaq  seakar dengan kata khaliq  (Allah pencipta) dimaksud agar terjadi hubungan baik antara manusia sebagai makhluk dengan Allah sebagai khaliq-nya, diantara manusia sebagai makhluk dengan makhluk-makhluk lainnya.

Lahirnya Aliran Ahlus Sunah wal Jama'ah

Aliran ini dilahirkan dan dikembangkan oleh Abu Hasan al-Asy'ari (260-324 H) pada tahun 300 H di Baghdad. Abu Hasan al-Asy'ari sendiri pada awalnya adalah pengikut aliran teologi Mu'tazilah, namun dia terus dilanda keraguan dengan pemikiran-pemikiran kalam Mu'tazilah, terutama karena keberanian Mu'tazilah dalam mena'wilkan ayat-ayat mutasyabihat untuk mendukung logika teologi mereka, sehingga pemaknaannya berbeda dengan lafalnya, dan juga karena keberanian mereka dalam membatasi penggunaan al-Sunnah hanya yang mutawatir saja untuk doktrin-doktrin aqidahnya.