Sebagaimana Khawarij dan Murji'ah, aliran teologi Qadariyah juga lahir dengan dilatar belakangi oleh kegiatan politik, yakni pada masa pemerintahan Mu'awiyah bin Abu Sufyan, dari Daulah Banu Umayah. Sepeninggal Ali bin Abi Thalib, tahun 40 H. Mu'awiyah menjadi penguasa daulah Islamiyah. Dan untuk memperkokoh kekuasaannya itu, dia menggunakan berbagai cara, khususnya dalam menumpas semua oposisi, bahkan mendiang Ali bin Abi Thalib dicaci maki dalam setiap kesempatan berpidato termasuk saat berkhotbah Jum'at.Para ulama yang shalih banyak yang tidak setuju dengan gaya dan cara Mu'awiyah, namun mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Untuk menutupi kesalahan itu, mereka mengembalikan semuanya kepada Allah, bahwa semua yang terjadi atas kehendakNya. Isu ini kemudian dimanfaatkan pula oleh Mu'awiyah dalam memimpin daulah Islamiyah, bahwa semua yang dilakukan itu atas kehendak Allah.
Dalam Suasana inilah muncul Ma'bad al Jauhani dan Ghailan al-Damasqi, dua tokoh pemberani yang melontarkan kritik terhadap Mu'awiyah sekaligus menentang pernyataan teologis yang membenarkan tindakan politiknya. Menurut keduanya, manusia bertanggung jawab untuk menegakkan kebenaran dan kebaikan serta menghancurkan kedhaliman. Manusia diberi Allah daya dan kekuatan untuk melakukan suatu perbuatan. Manusia juga diberi kebebasan untuk memilih antara melakukan sesuatu kebaikan dan keburukan, dan mereka harus mempertanggung jawabkan semua perbuatannya kelak di hari akhir.
Bila manusia memilih untuk melakukan perbuatan baik, maka ia akan memperoleh pahala disisi Allah dan akan memperoleh kebahagiaan dalam hidup di akhirat kelak. Sedang mereka yang memilih melakukan perbuatan buruk, akan memperoleh siksa dalam neraka. Manusia tidak boleh berpangku tangan melihat kedzaliman dan keburukan. Manusia harus berjuang melawan kedzaliman dan menegakkan kebenaran. Manusia bukanlah majbur (dipaksa oleh Allah). Karena Ma'bad dan Ghailan ini mengajarkan bahwa manusia memiliki qudrah untuk mewujudkan suatu perbuatan, maka fahamnya dinamakan faham "Qadariyah"
Kemudian Ma'bad al-Jauhani ikut menentang kekuasaan Bani Umayah dengan membantu Abdurrahman ibnu al-Asy'ats, gubernur Syijistan yang memberontak melawan Daulah Banu Umaah. Dalam suatu pertempuran tahun 80 H. Ma'bad al-Jauhani mati terbunuh. Sedang temannya Ghailan al-Darmasqi terus menyirakan faham Qadariyah itu, dengan banyak melontarkan kritik terhadap Banu Umayah, dan sering keluar masuk penjara, dan akhirnya dia menjalani hukuman mati pada masa pemerintahan Hisyam bin Abd al-Malik (105-125 H).
Sesuai dengan uraian diatas, pemikiran yang menonjol dari aliran ini adalah soal perbuatan manusia dan kekuatan Tuhan. Dalam pandangannya, manusia mempunyai kebebasan untuk menentukan perbuatannya serta melakukan perbuatannya itu. Dan di akhirat mereka harus mempertanggung jawabkan semua perbuatan itu, Sejalan dengan pemikiran ini, mereka berpendapat bahwa Tuhan telah memberikan daya kepada manusia, serta memberikan aturan-aturan hidup yang sangat jelas dengan berbaigai akibatnya. Ada perbuatan-perbuatan baik yang akan memberi mereka imbalan pahala dan kebahagiaan akhirat dan ada pula perbuatan-perbuatan jahat dan ancaman siksaan mereka bagi yang melanggarnya.
Comments
Post a Comment