Skip to main content

Lahirnya Aliran Mu'tazilah

Lahirnya aliran teologi Mu'tazilah tidak terlepas dari perkembangan pemikiran-pemikiran ilmu kalam yang sudah muncul sebelumnya. Aliran ini lahir berawal dari tanggapan Washil bin Atha' salah seorang murid Hasan Bashri di Bashrah, atas pemikiran yang dilontarkan Khawarij tentang pelaku dosa besar. Ketika Hasan Bashri bertanya tentang tanggapan Washil terhadap pemikiran Khawarij tersebut, dia menjawab bahwa para pelaku dosa besar bukan mukmin dan juga bukan kafir (orang fasik). Kemudian Washil memisahkan diri dari jamaah Hasan Bashri, dan gurunya itu secara spontan berkata "i'tazala 'anna" (washil memisahkan diri dari kita semua). Karena itulah kemudian pemikiran yang dikembangkan Washil menjadi sebuah aliran yang oleh anggota Hasan Bashri dinamai dengan "Mu'tazilah".Kelompok ini kemudian mengembangkan diri dengan memperkaya wawasan keilmuanya melalui penelaahan mendalam terhadap litelatur-literatur Yunani yang berada di pusat-pusat studi gereja timur, yaitu Antochia, Jundisaphur dan Alexandria. Langkah-langkah kreatif tersebut, mereka lakukan dalam rangka menghadapi serangan-serangan logika kelompok Kristen terhadap teologi Islam dan kemudian menghasilkan suatu format pemikiran ilmu kalam yang lebih cenderung menggunakan pendekatan berfikir filsafat, sehingga aliran ini kemudian terkenal dengan aliran kalam rasional.

Sebenarnya mereka sendiri menamakan dirinya sebagai ahluat-tauhid (menjaga ke-Esaan Allah) dan ahlu al-'adl (mempercayai dan meyakini penuh akan keadilan Tuhan), karena rumusan-rumusan pemikiran kalamnya itu benar-benar menjaga kemurnian tauhid dan prinsip keadilan Tuhan. Dan ajaran-ajaran pokoknya itu tertuang dalam rumusan "Mabadi al-Khamsah" (lima dasar jaran), yaitu al-Tauhid, al-adlu, al-wa'du wa al-wa'id, al-manzilah baina al-manzilatin, serta amar ma'ruf nahi munkar.

Aliran teologi Mu'tazilah ini menjadi aliran resmi di daulah bani Abbasiah pada zaman pemerintahan al-Makmun (198-218 H), dan dua khalifah sesudahnya, Mu'tashim (218-227 H) dan al-Wasiq (227-232 H). Namun dihancurkan kembali oleh al-Mutawakil pada thaun 234 H, sehingga kekuatan aliran ini kembali lemah dan diganti kemudian dengan aliran Asy'ariyah yang lebih terkenal dengan Ahlus Sunah wal Jama'ah.

Comments

Popular posts from this blog

Corak Aqidah Islam Pada Masa Nabi Dan Sahabat

Aqidah Islam yang dikembangkan Nabi Muhammad terhadap para sahabat dan para pengikut terdekat beliau bercorak monolitik, yakni satu bentuk ajaran tanpa ada perdebatan dan sanggahan-sanggahan. Yaitu mempercayai ke-Tuhanan Allah Yang Maha Esa, ke-Rasulan Muhammad beserta ajaran yang dibawanya yang beliau terima lewat wahyu, para malaikat yang memiliki tugas-tugas tertentu, serta kehidupan akhir berupa surga dan neraka beserta prosedur hisabnya, dan keyakinan akan adanya qadha dan qadar.

Pengertian Akhlak

Kata akhlak merupakan salah satu pembendaharaan bahasa Indonesia yang dikutip dari bahasa Arab yang merupakan bentuk jamak dari kata khulqun dan khilqun yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat. Digunakannya kata akhlaqun  untuk makna budi pekerti, dan seakar dengan kata khalqun  yang bermakna kejadian, karena tingkah laku, budi pekerti dan perangai itu merupakan perwujudan konsep-konsep yang terbentuk sebagai interaksi antara doktrin-doktrin ajaran yang telah dimiliki seseorang dengan lingkunagan sosial yang dihadapinya. Sementara itu, Barmawy Umary berpendapat bahwa penggunaan kata akhlaq  seakar dengan kata khaliq  (Allah pencipta) dimaksud agar terjadi hubungan baik antara manusia sebagai makhluk dengan Allah sebagai khaliq-nya, diantara manusia sebagai makhluk dengan makhluk-makhluk lainnya.

Lahirnya Aliran Ahlus Sunah wal Jama'ah

Aliran ini dilahirkan dan dikembangkan oleh Abu Hasan al-Asy'ari (260-324 H) pada tahun 300 H di Baghdad. Abu Hasan al-Asy'ari sendiri pada awalnya adalah pengikut aliran teologi Mu'tazilah, namun dia terus dilanda keraguan dengan pemikiran-pemikiran kalam Mu'tazilah, terutama karena keberanian Mu'tazilah dalam mena'wilkan ayat-ayat mutasyabihat untuk mendukung logika teologi mereka, sehingga pemaknaannya berbeda dengan lafalnya, dan juga karena keberanian mereka dalam membatasi penggunaan al-Sunnah hanya yang mutawatir saja untuk doktrin-doktrin aqidahnya.