Skip to main content

Lahirnya Aliran Ahlus Sunah wal Jama'ah

Aliran ini dilahirkan dan dikembangkan oleh Abu Hasan al-Asy'ari (260-324 H) pada tahun 300 H di Baghdad. Abu Hasan al-Asy'ari sendiri pada awalnya adalah pengikut aliran teologi Mu'tazilah, namun dia terus dilanda keraguan dengan pemikiran-pemikiran kalam Mu'tazilah, terutama karena keberanian Mu'tazilah dalam mena'wilkan ayat-ayat mutasyabihat untuk mendukung logika teologi mereka, sehingga pemaknaannya berbeda dengan lafalnya, dan juga karena keberanian mereka dalam membatasi penggunaan al-Sunnah hanya yang mutawatir saja untuk doktrin-doktrin aqidahnya.Karena keraguannya itulah, pada usia yang ke 40 tahun al-Asy'ari menyatakan keluar dari Mu'tazilah dan mengembangkan pemikiran teologi sendiri, dengan memperbanyak penggunaan al-Sunnah dan membatasi penggunaan logika filsafat dalam pemikiran kalamnya itu. Karena membatasi penggunaan logika filsafat dan memperbanyak penggunaan al-Sunnah, maka pemikiran-pemikiran kalam Abu Hasan mudah difahami oleh orang banyak, dan memperoleh pengikut serta pendukung yang cukup besar. Sejalan dengan itu, aliran teologinya ini disebut dengan Ahlus Sunah wal Jama'ah, artinya aliran kalam yang banyak menggunakan al-Sunnah dalam perumusan-perumusan pemikiran kalamnya, dan memperoleh pengikut yang cukup besar dari kalangan masyarakat, khususnya dari lapisan yang tidak mampu menjangkau pemikiran kalam rasional yang diperkenalkan aliran Mu'tazilah.

Berbagai pemikiran kalam yang dikemukakan Mu'tazilah dia kritik habis. Seperti tentang sifat. Dia katakan Tuhan itu mempunyai sifat, karena kalau sifat-sifat itu dikatakan sebagai zat seperti yang dikemukakan Mu'tazilah, maka akan terjadi kerancuan yang sangat besar. Seperti tentang "ilmu", kalau ilmu (pengetahuan) dijadikan sebagai zat dan bukan sebagai sifat, maka Tuhan itu adalah ilmu atau pengetahuan. Padahal Tuhan adalah Allah Yang Maha Tahu, bukan ilmu atau pengetahuan itu sendiri.

Demikian pula dengan al-Qur'an, menurut kitab suci ini qadim karena al-Qur'an itu kalam Allah, maka posisinya sama seperti pemilik kalam. Kalau Allah qadim, maka kalamNya pun qadim. Di samping itu, keyakinan bahwa al-Qur'an itu makhluk juga akan dihadapkan dengan kerancuan logika berpikir, karena Allah menciptakan makhlukNya ini dengan kata-kata "kun". Dan kalau kata "kun" sendiri sudah makhluk maka perlu "kun" yang lain untuk menciptakannya, dan begitulah seterusnya tanpa ada akhir , sehingga terjadi lingkaran logika yang tidak berujung (tasalsul).

Kemudian ayat-ayat mutajasimah yang dita'wilkan Mu'tazilah, dia bawa pada pengertian lafalnya, hanya saja tidak bisa diidentifikasikann seperti kata Yadullah, yang diartikan Mu'tazilah sebagai kekuasaan Allah, Abu Hasan menafsirkannya dengan tangan Allah. Hanya saja dia tidak bisa mengidentifikasikan bentuk tanganNya itu, sehingga dia mengatakan bahwa Allah itu bertangan namun tanganNya itu tidak bisa diidentifikasi (layukayyaf). Demikian pula dengan ayat mutajasimah lainnya.

Sebagaimana telah dikemukakan di atas, aliran teologi ini, mulai berkembang tahun 300 H, dan mempunyai pengaruh pada pemerintahan Abbasiah, bahkan untuk seterusnya sampai kini, pada umumnya umat Islam di dunia termasuk di Indonesia menganut aliran teologi ini, walaupun sebahagian kalangan intelektual muslim sudah mulai keluar dari doktrin-doktrin Asy'ariyah dan memasuki aliran kalam rasional.

Comments

Popular posts from this blog

Corak Aqidah Islam Pada Masa Nabi Dan Sahabat

Aqidah Islam yang dikembangkan Nabi Muhammad terhadap para sahabat dan para pengikut terdekat beliau bercorak monolitik, yakni satu bentuk ajaran tanpa ada perdebatan dan sanggahan-sanggahan. Yaitu mempercayai ke-Tuhanan Allah Yang Maha Esa, ke-Rasulan Muhammad beserta ajaran yang dibawanya yang beliau terima lewat wahyu, para malaikat yang memiliki tugas-tugas tertentu, serta kehidupan akhir berupa surga dan neraka beserta prosedur hisabnya, dan keyakinan akan adanya qadha dan qadar.

Pengertian Akhlak

Kata akhlak merupakan salah satu pembendaharaan bahasa Indonesia yang dikutip dari bahasa Arab yang merupakan bentuk jamak dari kata khulqun dan khilqun yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat. Digunakannya kata akhlaqun  untuk makna budi pekerti, dan seakar dengan kata khalqun  yang bermakna kejadian, karena tingkah laku, budi pekerti dan perangai itu merupakan perwujudan konsep-konsep yang terbentuk sebagai interaksi antara doktrin-doktrin ajaran yang telah dimiliki seseorang dengan lingkunagan sosial yang dihadapinya. Sementara itu, Barmawy Umary berpendapat bahwa penggunaan kata akhlaq  seakar dengan kata khaliq  (Allah pencipta) dimaksud agar terjadi hubungan baik antara manusia sebagai makhluk dengan Allah sebagai khaliq-nya, diantara manusia sebagai makhluk dengan makhluk-makhluk lainnya.